Pembiasaan evaluasi atau tes dengan soal-soal pilihan ganda dari tingkat SD hingga perguruan tinggi dinilai menjerumuskan siswa.
Kondisi tersebut mengakibatkan siswa Indonesia hanya kuat dalam kemampuan menghafal atau di level pengetahuan, sedangkan kemampuan menalar dan menerapkan ilmu pengetahuan sangat rendah.
Oleh karena itu, dalam aspek penilaian atau evaluasi siswa, baik yang dilakukan guru maupun pemerintah, perlu digalakkan penggunaan item uraian. Soal-soal pilihan ganda mendorong siswa untuk menebak jawaban tanpa berpikir terlebih dahulu dan memudahkan peserta yang berniat tidak jujur.
Demikian kajian yang dikemukan sejumlah peneliti dari beberapa perguruan tinggi berdasarkan hasil-hasil tes internasional yang diikuti siswa Indonesia dalam seminar bertema mutu pendidikan dasar dan menengah. Penelitian dilakukan berkolaborasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas di Jakarta.
Sejak tahun 1990-an hingga saat ini, Indonesia terlibat dalam tes internasional yang diikuti siswa dari negara-negara maju dan berkembang yakni Programme for International Student Assesment (PISA) di bidang membaca, matematika, dan sains untuk siswa SMP; Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) bidang membaca untuk siswa SD; serta Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) bidang matematika dan sains untuk siswa SMP. Hasil tes menunjukkan kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah standar internasional.
Kemampuan rata-rata siswa Indonesia dalam merespon item format uraian lebih rendah dibandingkan merespons item format pilihan ganda. Kondisi itu secara umum menunjukkan siswa Indonesia lemah untuk melakukan analisis, prediksi, dan membuat kesimpulan.
Felicia N Utordewo dari Universitas Indonesia mengatakan prestasi membaca siswa SD Indonesia bukan saja terlihat rendah dalam PIRLS, tapi juga dalam ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Siswa Indonesia tidak terlatih untuk menyampaikan pikirannya dalam bahasa yang runtut dan jelas.
"Mereka sigap dalam menjawab soal pilihan ganda, namun mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran secara mandiri dalam bentuk esei," kata Felicia.
Dalam penyusunan soal perlu dirakit soal-soal esei yang tidak memerlukan jawaban yang panjang. Melalui soal seperti itu, siswa terdidik untuk berpikir mandiri dan memutuskan jawaban sendiri, tanpa bantuan pilihan.
Heri Retnawati dari Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan salah satu yang mempengaruhi kesulitan siswa Indonesia menjawab soal-soal dalam tes internasional karena tidak terbiasa mengerjakan evaluasi skala nasional dengan soal esei atau lebih terbiasa dengan soal pilihan ganda. Di soal TIMSS banyak soal yang bersifat penerapan dan penalaran, sehingga akan menyulitkan siswa yang tidak terbiasa berpikir analitis.
Ujian nasional yang berbentuk pilihan ganda jadi acuan model penilaian di sekolah. Guru pun melaksanakan ujian dengan bentuk soal pilihan ganda. "Selain pilihan ganda, perlu dikembangkan soal uraian sehingga peserta berusaha dan terlatih untuk berfikir kritis dan logis yang merupakan indikator peningkatan kualitas siswa dan kualitas pendidikan Indonesia," ujar Retnawati.
Wasis dari Universitas Negeri Surabaya mengingatkan supaya kegiatan pembelajaran harus memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi siswa untuk melakukan proses menalar dan menerapkan dibandingkan mengumpulkan pengetahuan semata. "Keterampilan tersebut belum dikuasai siswa Indonesia," ujar Wasis.
• kompas.com
Kondisi tersebut mengakibatkan siswa Indonesia hanya kuat dalam kemampuan menghafal atau di level pengetahuan, sedangkan kemampuan menalar dan menerapkan ilmu pengetahuan sangat rendah.
Oleh karena itu, dalam aspek penilaian atau evaluasi siswa, baik yang dilakukan guru maupun pemerintah, perlu digalakkan penggunaan item uraian. Soal-soal pilihan ganda mendorong siswa untuk menebak jawaban tanpa berpikir terlebih dahulu dan memudahkan peserta yang berniat tidak jujur.
Demikian kajian yang dikemukan sejumlah peneliti dari beberapa perguruan tinggi berdasarkan hasil-hasil tes internasional yang diikuti siswa Indonesia dalam seminar bertema mutu pendidikan dasar dan menengah. Penelitian dilakukan berkolaborasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas di Jakarta.
Sejak tahun 1990-an hingga saat ini, Indonesia terlibat dalam tes internasional yang diikuti siswa dari negara-negara maju dan berkembang yakni Programme for International Student Assesment (PISA) di bidang membaca, matematika, dan sains untuk siswa SMP; Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) bidang membaca untuk siswa SD; serta Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) bidang matematika dan sains untuk siswa SMP. Hasil tes menunjukkan kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah standar internasional.
Kemampuan rata-rata siswa Indonesia dalam merespon item format uraian lebih rendah dibandingkan merespons item format pilihan ganda. Kondisi itu secara umum menunjukkan siswa Indonesia lemah untuk melakukan analisis, prediksi, dan membuat kesimpulan.
Felicia N Utordewo dari Universitas Indonesia mengatakan prestasi membaca siswa SD Indonesia bukan saja terlihat rendah dalam PIRLS, tapi juga dalam ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Siswa Indonesia tidak terlatih untuk menyampaikan pikirannya dalam bahasa yang runtut dan jelas.
"Mereka sigap dalam menjawab soal pilihan ganda, namun mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran secara mandiri dalam bentuk esei," kata Felicia.
Dalam penyusunan soal perlu dirakit soal-soal esei yang tidak memerlukan jawaban yang panjang. Melalui soal seperti itu, siswa terdidik untuk berpikir mandiri dan memutuskan jawaban sendiri, tanpa bantuan pilihan.
Heri Retnawati dari Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan salah satu yang mempengaruhi kesulitan siswa Indonesia menjawab soal-soal dalam tes internasional karena tidak terbiasa mengerjakan evaluasi skala nasional dengan soal esei atau lebih terbiasa dengan soal pilihan ganda. Di soal TIMSS banyak soal yang bersifat penerapan dan penalaran, sehingga akan menyulitkan siswa yang tidak terbiasa berpikir analitis.
Ujian nasional yang berbentuk pilihan ganda jadi acuan model penilaian di sekolah. Guru pun melaksanakan ujian dengan bentuk soal pilihan ganda. "Selain pilihan ganda, perlu dikembangkan soal uraian sehingga peserta berusaha dan terlatih untuk berfikir kritis dan logis yang merupakan indikator peningkatan kualitas siswa dan kualitas pendidikan Indonesia," ujar Retnawati.
Wasis dari Universitas Negeri Surabaya mengingatkan supaya kegiatan pembelajaran harus memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi siswa untuk melakukan proses menalar dan menerapkan dibandingkan mengumpulkan pengetahuan semata. "Keterampilan tersebut belum dikuasai siswa Indonesia," ujar Wasis.
• kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar